ASAL – USUL LAYANG – LAYANG: “Kite Festival Internasional Pangandaran “

ASAL – USUL LAYANG – LAYANG: “Kite Festival Internasional Pangandaran”

(CIAMIS,12/03/2020). Pangandaran International Kite Festival setiap tahun menampilkan peserta kegiatan layang layang dari berbagai negara dan daerah mengukuhkan standar acara yang bersifat internasional.

Muat Lebih

banner 300250

Festival ini merupakan salah satu event tahunan yang sangat menarik karena memiliki keunikan budaya yang dicerminkan dalam bentuk layangan. Setidaknya sekitar  lebih 10 negara selalu terlibat dalam Pangandaran Internasional KITE Festival (PIKF). Mereka berasal dari Macau, Filipina, Thailand, India, Hungaria, Mongolia, Malaysia dan lain-lain.

Layang-layang, layangan, atau wau (di sebagian wilayah Semenanjung Malaya) merupakan lembaran bahan tipis berkerangka yang diterbangkan ke udara dan terhubungkan dengan tali atau benang ke daratan atau pengendali.

Layang-layang memanfaatkan kekuatan hembusan angin sebagai alat pengangkatnya. Dikenal luas di seluruh dunia sebagai alat permainan.

Layang-layang diketahui juga memiliki fungsi ritual, alat bantu memancing atau menjerat, menjadi alat bantu penelitian ilmiah, serta media energi alternatif.

Terdapat berbagai tipe layang-layang permainan (di Sunda dikenal istilah maen langlayangan).

Yang paling umum adalah layang-layang hias (dalam bahasa Betawi disebut koang) dan layang-layang aduan (laga).

Terdapat pula layang-layang yang diberi sendaringan yang dapat mengeluarkan suara karena hembusan angin.

Layang-layang laga biasa dimainkan oleh anak-anak pada masa pancaroba karena kuatnya angin berhembus pada saat itu.

Di beberapa daerah Nusantara, layang-layang dimainkan sebagai bagian dari ritual tertentu, biasanya terkait dengan proses budidaya pertanian.

Layang-layang paling sederhana terbuat dari helai daun yang diberi kerangka dari bambu, kemudian diikat dengan serat rotan. Layang-layang semacam ini masih dapat dijumpai di Sulawesi.

Diduga beberapa bentuk layang-layang tradisional asal Bali berkembang dari layang-layang daun karena bentuk ovalnya yang menyerupai daun.

Di Jawa Barat atau Pasundan, Lampung, dan beberapa tempat lain di Indonesia, layang-layang digunakan sebagai alat bantu memancing. Layang-layang ini terbuat dari anyaman daun sejenis anggrek tertentu dan dihubungkan dengan mata kail.

Di Pangandaran dan beberapa tempat lain misalnya, layang-layang dipasangi jerat untuk menangkap kalong atau kelelawar.

Penggunaan layang-layang sebagai alat bantu penelitian cuaca telah dikenal sejak abad ke-18. Contoh yang paling terkenal adalah ketika Benjamin Franklin menggunakan layang-layang yang terhubung dengan kunci untuk menunjukkan bahwa petir membawa muatan listrik.

Layang-layang raksasa dari bahan sintetis sekarang telah dicoba menjadi alat untuk menghemat penggunaan bahan bakar kapal pengangkut. Pada saat angin berhembus kencang, kapal akan membentangkan layar raksasa seperti layang-layang yang akan “menarik” kapal sehingga menghemat penggunaan bahan bakar.

Layang-layang sudah sangat akrab dan melekat di masyarakat, Pangandaran bahkan dulu sudah menjadi satu budaya masyarakat nelayan, ketika musim paceklik anak-anak dan orang tua banyak menghabiskan waktu bermain layang-layang, sekadar melepas kejenuhan.

Sebelum berkembang layang-layang berbahan fiber dan parasit, sambung Kokos, layang-layang tradisional dulu dibuat dari daun parasit tumbuhan yang dikenal masyarakat Pangandaran dengan nama Kadaka. Biasanya, banyak ditemukan di hutan. Kemudian, berkembang dengan layang-layang yang terbuat dari bambu dan kertas.

Kebiasaan ini dipandang menarik dan akhirnya menjadi event wisata dan dilombakan sampai saat ini.

Catatan pertama yang menyebutkan permainan layang-layang adalah dokumen dari Cina sekitar 2500 Sebelum Masehi.

Sedangkan penggambaran layang-layang tertua adalah dari lukisan gua periode mesolitik di pulau Muna, Sulawesi Tenggara, yang telah ada sejak 9500-9000 tahun SM.

Lukisan tersebut menggambarkan layang-layang yang disebut kaghati, yang masih digunakan oleh orang-orang Muna modern.

Layang-layang terbuat dari daun kolope (umbi hutan) untuk layar induk, kulit bambu sebagai bingkai, dan serat nanas hutan yang dililitkan sebagai tali, meskipun layang-layang modern menggunakan senar sebagai tali.

Diduga terjadi perkembangan yang saling bebas antara tradisi di Cina dan di Nusantara karena di Nusantara banyak ditemukan bentuk-bentuk primitif layang-layang yang terbuat dari daun-daunan. Di kawasan Nusantara sendiri catatan pertama mengenai layang-layang adalah dari Sejarah Melayu (Sulalatus Salatin) (abad ke-17) yang menceritakan suatu festival layang-layang yang diikuti oleh seorang pembesar kerajaan.

Dari Cina, permainan layang-layang menyebar ke Barat hingga kemudian populer di Eropa.

Layang-layang terkenal ketika dipakai oleh Benjamin Franklin ketika ia tengah mempelajari petir.***

Pos terkait

banner 468x60