KEBEBASAN BERBICARA || Retno Triani Soekonjono || Psikolog

KEBEBASAN BERBICARA || Retno Triani Soekonjono ||
Psikolog

(CIAMIS, 17/02/2022). Di negara dimana Demokrasi dijunjung tinggi,
setiap orang berhak untuk dapat menyuarakan pendapat, gagasan, dan pandangannya sendiri.
Namun, bila pernyataan yang disuarakan mengarah pada bentuk diskriminasi, rasisme, pencemaran nama baik, dll., pada saat itu yang bersangkutan tidak dapat mengharapkan orang yang merasa dirugikan untuk berdiam diri atau tidak membantah.
Ia bahkan bisa memanggil orang-orang tersebut untuk melakukan klarifikasi atas komentar negatif mereka.

Hak atas kebebasan berbicara akhir-akhir ini menjadi sorotan di negara tercinta Republik Indonesia, karena beberapa individu percaya dan menganggap bahwa kebebasan berbicara berarti mereka dapat mengatakan apa pun yang mereka inginkan tanpa harus menanggung konsekuensinya. Kebebasan berbicara tidak membebaskan kita dari konsekuensi yang timbul akibat sesuatu yang kita katakan.
Individu juga harus memahami bahwa terlepas dari memiliki hak atas kebebasan berbicara, ada batasan untuk apa yang dapat dikatakan.

Karena mengeluarkan ujaran kebencian atau ucapan yang memicu kekerasan, seseorang dapat dimintai pertanggungjawaban oleh pihak yang merasa dirugikan.

Ketika kebebasan berbicara mengarah pada tuduhan pada seseorang, maka
jika tuduhan itu tidak benar, orang yang dituduh berada dalam situasi yang mirip dengan orang yang ditindas.

Tuduhan palsu dapat terjadi sebagai akibat dari kebohongan yang disengaja dari pihak penuduh, atau tidak sengaja karena obrolan .
Bisa juga akibat dari pertanyaan sugestif yang disengaja atau tidak disengaja, atau teknik bertanya yang salah dalam suatu wawancara.

Bapak Psikologi Freud mengatakan bahwa rasa sakit dari ego adalah jenis rasa sakit yang sangat buruk.
Anak-anak yang dikambinghitamkan dengan kata-kata yang mengandung penghinaan yang tak tertahankan bisa bunuh diri .
Anak-anak yang disiksa dengan kata-kata seringkali lebih trauma daripada mereka yang disiksa secara fisik.

Maka tidak heran bagi orang dewasa yang sukses dan terkenal, atau “memiliki segalanya”, kehancuran psikologis karena tuduhan palsu dapat menghancurkan seluruh bangunan kehidupan yang telah dirintis dalam jangka waktu yang lama.

Orang-orang yang kuat secara psikologis tidak akan tinggal diam ketika orang lain melontarkan tuduhan palsu dengan alasan apapun termasuk kebebasan berbicara atau hak asasi manusia.
Ia akan melakukan klarifikasi dan mencoba menanyakan kebenaran tuduhan tersebut.
Fakta yang banyak terjadi, tuduhan atau ujaran kebencian karena kebebasan berbicara dapat berakhir di pengadilan.

“Tuduhan palsu dari seseorang yang moralitasnya meragukan dapat menodai reputasi seorang hamba yang jujur.” Hock G. Tjoa.***

Pos terkait

banner 468x60