SINDROME ORANG KAYA (MENDADAK) || Retno Triani Soekonjono || Psikolog

SINDROME ORANG KAYA (MENDADAK) || Retno Triani Soekonjono ||
Psikolog

(CIAMIS, 18/02/2022). Dalam kehidupan sehari-hari banyak ditemui pejabat eksekutif, anggota legislatif, selebritis, dan orang kaya lainnya yang perilakunya dianggap tidak etis.

Pamer kekayaan ditengah kondisi krisis, mengusir orang, menghina, minta fasilitas dan bahkan melanggar aturan, dilakukan untuk memenuhi dorongan kenyamanan pribadi.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa uang dapat mengubah perilaku seseorang dan tidak selalu menjadi lebih baik.
Tentu saja, tidak sedikit orang kaya yang menjadi dermawan, suka menolong, dan memberi, namun hal tersebut tidak selalu terjadi secara umum.

Makalah tentang perilaku orang kaya ditulis oleh Stéphane Côté dari Universitas Toronto dan Paul Piff dan Robb Willer dari Berkeley, telah diterbitkan dalam Journal of Personality and Social Psychology.

Piff, Côté, dan tiga kolaborator menerbitkan makalah di PNAS yang menunjukkan, pada dasarnya, bahwa orang kaya itu brengsek. Judulnya adalah “Kelas Sosial Tinggi Memprediksi Peningkatan Perilaku Tidak Etis.”

  1. Paul K. Piff, et al., mencatat bahwa mereka yang menganggap diri mereka berada di kelas sosial ekonomi yang lebih tinggi adalah yang paling mungkin untuk terlibat dalam perilaku tidak etis, terutama ketika mereka berada dalam “simbol kekayaan” seperti mobil mewah atau yang lainnya.

Perilaku tersebut digambarkan sebagai “pemaksimalan kepentingan pribadi”, sebuah gagasan yang menunjukkan bahwa mereka yang memiliki uang lebih banyak atau menempati kelas yang lebih tinggi cenderung memiliki sikap dengan penilaian yang berpusat pada diri sendiri dengan pertanyaan “apa untungnya bagi saya?”
Mereka secara aktif bekerja untuk mendapatkan manfaat terbesar bagi diri mereka sendiri.

Menghasilkan uang bisa sangat membuat ketagihan bagi sebagian orang.
Seperti yang diperingatkan oleh Dr. Tian Dayton , seorang psikolog klinis, bahwa perasaan positif setelah mendapatkan uang dapat menyebabkan reaksi kimia di otak yang terasa enak. Pada gilirannya, hal itu dapat mengakibatkan keasyikan yang parah dengan uang.

Dalam ilmu psikologi dikenal adanya teori belajar: “law of effect” yaitu hubungan stimulus respon cenderung diperkuat bila akibatnya menyenangkan dan cenderung diperlemah jika akibatnya tidak memuaskan.
Suatu tindakan yang diikuti akibat yang menyenangkan, maka tindakan tersebut cenderung akan diulangi pada waktu yang lain.
Mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya akan menyenangkan seseorang dan tindakan itu akan diulangi pada waktu yang lain.

Psikolog yang mempelajari dampak kekayaan dan ketidaksetaraan pada perilaku manusia telah menemukan bahwa uang dapat dengan kuat memengaruhi pikiran dan tindakan kita dengan cara yang sering tidak kita sadari.

Meskipun “kekayaan” bersifat subjektif, sebagian besar penelitian saat ini mengukur kekayaan dengan skala pendapatan, status pekerjaan, atau keadaan sosial ekonomi, termasuk tingkat pendidikan.

Sudden Wealth Syndrome (SWS) adalah istilah yang diberikan untuk kondisi psikologis di mana tekanan luar biasa dari keberuntungan yang tidak terduga atau tiba-tiba dapat berkembang menjadi penderitaan emosional dan perilaku. Bisa juga disebut sebagai krisis identitas .
Istilah “Sindrom Kaya Mendadak” diciptakan oleh psikolog Stephen Goldbart, salah satu pendiri Money, Meaning and Choices Institute (MMC Institute), saat ia melihat adanya gejala perubahan perilaku dan emosi yang kuat, yang berkaitan dengan perolehan kekayaan yang cukup besar dalam jangka waktu yang relatif pendek atau tiba-tiba.

Para psikolog peneliti juga berpendapat bahwa kekayaan dan status dapat mengurangi empati karena uang memungkinkan seseorang untuk mandiri, Ia tidak mengandalkan orang lain dalam menjalani kehidupannya. Kontak psikologis dengan orang lain menjadi minim, akibatnya kemampuan merasakan perasaan orang lain tidak berkembang sempurna dan individu tidak mampu melakukan komunikasi secara effektif.

Dari hasil penelitian di atas, maka kemungkinan orang kaya (pejabat eksekutif, anggota legislatif, selebritis) di Indonesia memperlihatkan perilaku yang tidak etis, bisa terjadi.

Bahkan sekarang sedang berkembang Budaya “mungusir tamu yang diundang” oleh Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), karena Yang Mulia Anggota DPR yang tergolong Orang Kaya telah kehilangan kemampuan komunikasi yang effektif dan norma etika.

“Kesopanan adalah hal pertama yang hilang setelah mereka mendapatkan kekuasaan”. Amit Kalantri.***

Pos terkait

banner 468x60