EFEK PYGMALION di INDONESIA || Retno Triani Soekonjono ||
Psikolog
Merdeka! 🇮🇩🇮🇩🇮🇩🇮🇩🇮🇩
(CIAMIS, 27/02/2022). Pemerintah Belanda melalui Perdana Menteri Mark Rutte menyampaikan permintaan ma’af kepada Indonesia terkait dengan aksi kekerasan yang sistematis dan ekstrem selama periode perang kemerdekaan.
Ada baiknya kita tahu akan mitos Yunani tentang Pygmalion , pematung yang sangat jatuh cinta pada patung yang sangat indah yang dia ciptakan sehingga patung itu menjadi hidup.
Efek Pygmalion berbunyi :
“Ketika kita mengharapkan perilaku tertentu dari orang lain, kita cenderung bertindak dengan cara yang membuat perilaku yang diharapkan lebih mungkin terjadi.” (Rosenthal dan Lenore Jacobson).
Jika orang tua memilih untuk memperlakukan anak mereka sebagai manusia yang cerdas, berbakat dan mandiri, menurut efek Pygmalion, anak akan lebih mampu untuk menginternalisasi sikap ini dan bertindak sesuai dengan perlakuan orang tua mereka.
Namun sebaliknya, jika orang tua memandang anak mereka sebagai tidak mampu, tidak cerdas, atau lemah, kemungkinan besar anak tersebut akan memiliki rasa rendah diri.
Menurut efek Pygmalion, ekspektasi yang dipaksakan oleh guru kepada siswa diinternalisasikan oleh siswa dan menjadi bagian dari konsep diri mereka , dan mereka bertindak sesuai dengan keyakinan internal mereka tentang diri mereka sendiri.
Efek Pygmalion terjadi di tempat kerja ketika seorang manajer meningkatkan harapannya terhadap kinerja pekerja dan ini benar-benar menghasilkan peningkatan kinerja pekerja.
Bagaimana dengan perlakuan Belanda kepada Rakyat Indonesia?
Pada tahun 1596, Belanda dipimpin oleh Cornelis De Houtman datang ke Indonesia utk mencari rempah- rempah, namun Belanda diusir oleh warga Banten karena bersikap angkuh.
Pada tahun 1598, Belanda datang lagi untuk menguasai/ menjajah Indonesia yang pada saat itu adalah penghasil rempah-rempah.
VOC yang dibentuk penjajah
Belanda (Tahun 1602) memberlakukan sistem kerja Rodi yang sangat menyengsarakan rakyat Indonesia.
Kerja Rodi adalah kerja tanpa upah, tanpa istirahat, dan tanpa membantah.
Tetapi setelah lebih 200 thn berkuasa, VOC akhirnya bangkrut, dan pada tahun
1799 VOC bubar.
Tahun 1942, Belanda kalah dengan Jepang, dan Indonesia ganti dijajah Jepang.
&
Penjajah Belanda cukup kuat untuk mencegah nasionalisme Indonesia berkembang dengan cara menangkap para pemimpin dan menekan organisasi-organisasi nasionalis.
Keinginan dan perlakuan menjajah dan merendahkan martabat bangsa selama ratusan tahun, menyebabkan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang lemah, harga diri rendah dan bodoh.
Pembodohan anak bangsa ini terus berkelanjutan dengan kedatangan Jepang pada Maret 1942.
Rakyat Indonesia mengalami kesengsaraan, kekurangan makanan, pakaian dan obat-obatan di bawah penjajahan Jepang.
Kesehatan fisik dan psikis merosot karena keharusan kerja paksa di bawah kondisi yang menyiksa.
Internalisasi inferioritas etnis atau budaya yang dialami oleh bangsa Indonesia yang dijajah ratusan tahun, membentuk mental Inlander yaitu keyakinan kuat bahwa nilai budaya penjajah lebih unggul daripada nilai budaya sendiri.
Penjajah lebih unggul dalam segala bidang aspek kehidupan.
Hal ini sesuai dengan teori efek Pygmalion,
dampak perlakuan kaum penjajah yang bersifat mengkerdilkan, menjadikan sebagian besar rakyat Indonesia memiliki mental pecundang.
Walaupun kemerdekaan telah dicapai, namun sampai saat ini upaya untuk membentuk mental pemenang tidak membuahkan hasil yang signifikan.
Berbagai badan sudah dibentuk oleh pemerintah, sebagai penanggung jawab pembentukan karakter bangsa berdasarkan Pancasila, namun hasil nyata masih jauh dari harapan.
Yang juga patut disayangkan, mayoritas generasi milenial kurang menaruh kepedulian pada karakter rendah diri dari bangsa Indonesia.
Mereka sibuk memperkaya diri, mempertontonkan kemewahan yang menyakitkan perasaan orang-orang yang
kurang beruntung.
Begitu juga milenial intelektual “super cerdas” yang menuntut ilmu di kampus (terkenal atau tidak terkenal), hanya pintar mengkritisi tanpa memberikan solusi.
Kaum milenial Indonesia tidak mau dan tidak mampu menggunakan potensinya untuk ikut membangun bangsa yang berkarakter Pancasila.
Tampaknya tokoh-tokoh seperti The Founding Fathers
yang sejak muda memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia dari penjajahan dan membangun semangat Nasionalisme,
rasa cinta dan bangga pada tanah air, saat ini semakin langka di bumi pertiwi.
Suatu bukti akan kebenaran pesan Bung Karno yang mengingatkan bentuk ancaman yang dihadapi bangsa Indonesia setelah merdeka.
“Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, namun perjuangan kalian akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri”.
Bung Karno.***