Beranda / Nikmati Proses? / Islam No? Indonesa No?

Islam No? Indonesa No?

Ketika tulisan ini diturunkan isu
terhangat sebenarnya masalah gunung yang mau ‘kentut’. Konon Pusat Vulkanologi, atau apa istilahnya sudah ‘menjadwalkan’  gunung Merapi di Jawa Tengah akan meletus akhir April 2006. Gunung Krakatau di Selat Sunda pun kembali aktif, dan Gunung Papandayan di Garut mulai batuk-batuk, uhuk! Uhuk! Menyemburkan gas beracun dari kawahnya. Bah Acam bilang, kalau sudah dijadwal, gunung-gunung itu tinggal diabsen saja. Bleduk! Bleduk! Ih, jangan dong!
Bukan menakut-nakuti Indonesia kembali akan dilanda bencana alam setelah gelombang Tsunami membuat pilu negeri ini di akhir Desember 2004. Semoga itu (gunung meletus) tidak terjadi dan hanya ramalan manusia saja meski gejala alamnya sudah nampak. Meski gunung-gunung itu ‘meringis kebelet’. Sebaiknya kita melihat hal lain yang juga masih aktual dan belum tuntas. Sebab jangan-jangan berbagai bencana yang terjadi dan keterpurukan bangsa ini, biangnya karena masalah ini. Apalagi kalau bukan masalah Pornografi, Pornoaksi dan kian ambruknya moral bangsa ini.
Kita masih merasa sesak, ketika Rancangan Undang-Undang Pornografi dan Pornoaksi masih menuai pro kontra, dengan gaya ABG slonong boynya, tanggal 7 April, Majalah Play-boy terbit menohok mayoritas umat beragama Indonesia terutama kaum muslim. Akibatnya demontrasi menentang hadirnya majalah tersebut marak di mana-mana meski ada juga yang senang Indonesia sudah kian mendunia karena membidani kelahiran media terbungsu bernama Playboy. Pada Acara Pelatihan SOS di Wisma PGRI baru-baru ini, Pak Kadisdik Ciamis bilang,”Indonesia  saat ini sedang diplototin negara-nagara Islam Arab, karena menjadi negara Muslim terbesar di dunia yang berani dan tak sungkan-sungkan menerbitkan Majalah Play-boy.” Inilah sejarah terburuk kesekian di negeri ini, setelah kita dulu melegalkan judi nasional bernama Porkas dan SDSB. Masya Allah!

Mencari Islam & Indonesia
Konon pula katanya Indonesia sedari dulu dikenal dengan adat ketimurannya, berbudaya luhur, ramah dan sopan. Sejak massa animisme dan dinamisme, kita juga sudah kaya dengan ragam adat tradisi. Kekayaan dan keagungan itu kian memuncak ketika masuk beragam agama ke Nusantara, mulai dari Hindu, Budha, Kristen, Islam, Konghucu dan kepercayaan lainnya. Sesuai dengan maknanya, agama menjadikan hidup manusia menjadi lebih baik, maka kehadiran agama-agama itu juga menjadikan hidup manusia Nusantara menjadi lebih bermartabat, harmonis dan tidak kacau.
Hingga beratus-ratus tahun pula kita mampu mempertahankan identitas tersebut, meski dalam posisi terjajah, dua ciri itu, (adat ketimuran, dan manusia beragama) telah melahirkan  dan menumbuhkan rasa kebangsaan yang dahsyat. Hingga akhirnya merdeka dan bernama Indonesia, kita terus dikenal dunia sebagai bangsa yang beradab, memiliki nilai-nilai luhur, menjunjung etika-moral dan menjadi negara yang mengakui Ketuhanan Yang Maha Esa.Bahkan fakta yang obyektif, mayoritas anak bangsa menganut agama Islam. Sungguh tidak pernah terpikirkan oleh kita, bangsa ini menjadi negara Muslim terbesar di dunia.
Padahal mari kita ingat dan kenang betapa perih, berat dan berbahaya Islam pertama kali ditegakan di Tanah Arab oleh Rasulullah Muhammad. Perjuangan menyebarkan agama Islam menuntut pengorbanan harta bahkan nyawa. Selama kurun waktu itu Islam begitu susah untuk diterima masyarakat jahiliyah Arab. Bahkan oleh kerabat, sahabat dan tetangga rasul sekalipun. Waktu itu mungkin (walahualam)  Rasulullah belum tahu ada wilayah bernama Nusantara, yang sekira tujuh abad kemudian, sejak beliau wafat mulai mengenal agama Islam melalui Samudera Pasai Aceh. Lalu kini di abad 21 menjadi negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia. Sungguh seandainya Rasulullah masih hidup atau dengan Kuasa Allah diberi tahu bahwa Islam yang dulu Baginda Rasul tegakkan itu justru menjadi besar di Indonesia, mungkin ia akan tersenyum dan bangsa Arab pun begitu hormat pada Indonesia.
Mengenang perjuangan Rasulullah dan para pengikutnya, para sahabat, keluarga hingga perjuangan penyebar Islam di Nusantara seperti Wali Sanga, umat Islam yang saleh sering meneteskan air mata. Tidak pernah terbayang olehnya, Islam yang agung yang digariskan dalam Al-Quran dan Hadis itu,  menjadi besar di Indonesia.Tak pernah terpikirkan negeri yang dulu disebut Zamrud di Kahatulistiwa ini dan belasan ribu mil jaraknya dari tanah Arab, melintas wilayah, negara, budaya ruang dan waktu, menjadi negara penting yang bisa menjadi simbol kebesaran agama Islam di dunia. Namun pertanyaannya benarkah kita telah telah menjadi negara yang hidup secara Islami atau melaksanakan ajaran Islam dengan baik dan benar. Padahal Allah seolah menitipkan agama Islam di tanah air kita. Lalu sebagai bangsa yang beragama, benarkah setiap warga Negara Indonesia sangat taat pada ajaran agamanya masing-masing? Masihkah kita bangga dan mempraktekan nilai-nilai falsafah bangsa, adat ketimuran, budaya nenek moyang, nilai kepatutan dan kepribadian bangsa?
Saya mencoba termenung mencari dua sisi karakteristik bangsa bernama  Indonesia. Satu sisi ini negara beragama dengan Islam yang berbesar dan di sisi lain negeri dengan budaya ketimuran yang mereka banggakan. Adakah saya temukan keduanya saat ini? Saya mencarinya menyelam ke dasar laut, terbaring di daratan, terbang ke udara, menengok ke belakang jangan-jangan ada sesuatu yang tertinggal di masa lalu. Namun tidak ada kepastian yang saya temukan. Indonesia telah hilang? Dimanakah kamu? Dimanakah Ibu pertiwi yang jadi panutan? Dimanakah agama? Di manakah kepribadian bangsa? Dimanakah budaya ketimuran?
Gelap. Pusing! Tidak ada suara. Sepi. Dan tiba-tiba saya terbelalak negeri dari Aceh hingga Papua itu berubah menjadi dunia tanpa batas, tanpa pembeda dan tanpa bendera merah putih. Saya menemukan dunia dengan satu bendera yang sama dan bendera-bendera itu berkibar juga di Indonesia katanya bendera bernama internasionalisme, globalisme, dan modernisme. Tidak ada bendera agama dan bendera bangsa.

Lupakan Bangsa dan Agama
Kita hampir (telah?) kehilangan kepribadian bangsa terlebih agama (?), ketika nilai-nilai yang bersumber dari keduanya telah kita ingkari dan tinggalkan baik karena godaan, paksaan atau karena bujukan sesama anak bangsa sendiri sadar atau tidak.Sebab sekarang yang berkuasa adalah media yang membekengi ucapan, gaya hidup, pendapat, dan nafsu segelintir artis dan anak bangsa yang mau keluar dari negara Indonesia dan memilih menjadi warga dunia.
Empat bulan lalu di suatu sore yang cerah, seorang artis muncul di teve dan dengan santai berkata,”Saya bangga berperan seronok, hampir telanjang di film Detik Terakhir, ini terobosan besar bahwa kita juga mampu membuat film seperti teman-teman kita di barat dan Amerika. Indonesia sudah sama dengan bangsa-bangsa itu!”
Semakin hari bangsa ini  semakin digiring untuk melupakan agama dan budaya bangsa. Di bulan April ini selepas Palayboy terbit, seorang bapak di hadapan sorot kamera tivi yang disi-arkan ke seluruh Indonesia, berkata bahwa dirinya bangga anaknya menjadi cover dan model majalah tersebut. Pose-pose porno anaknya ia pandang dengan senyum dan kebahagiaan. Menit itu juga teman-teman artis model majalah itu memberikan dukungannya, “Maju terus Andhara Early, saya mendukungmu, selagi kamu tidak merugikan orang lain, maju terus.” Sebelumnya seorang artis yang masih belia juga berkata,”Saya senang Playboy terbit versi Indoensia, pasti saya membelinya!”
Fenomena ini hanya gambaran kecil dari seabrek gejala makin hilangnya nilai-nilai bangsa dan tumbuhnya pe-ngingkaran terhadap ajaran agama secara umum. Lihat saja contohnya RUUPP, warga negara yang non Muslim tidak menginginkan RUUPP sebagai ajaran Islam, atau berbau kaidah Islam. Dan memang RUUPP bukan aturan Islam namun salah satunya mengakomodir keinginan umat Islam yang mayoritas. Kalau RUUPP adalah aturan Islam, maka takan diterima oleh warga negara Indonesia non Muslim. Lalu ketika RUUPP yang ditakutkan mereka berbau Islam itu, dinetralkan sebagai UU negara yang berdasar nilai-nilai bangsa, masih juga mereka menolak, berdalih dan berdemo. Jadi manakah yang akan dijadikan acuan lahirnya sebuah undang-undang negara?
Saya menyakini semua agama mempunyai ajaran yang memerintahkan penganutnya untuk bisa menjaga kehormatan diri, menjaga kesopanan, kesusilaan dan mencegah keburukan. Semua agama juga memerintahkan untuk menghindari kejahatan, kehancuran, dan kesia-siaan. Namun, maaf kita melihat di muka bumi ini hanya Islamnya yang tegas dan menaruh perhatian khusus pada masalah tersebut. Ketika bangsa ini penuh dengan pornogarfi dan pergaulan bebas, hanya Islam yang berani mengatakan tidak untuk semua itu. Padahal untuk membebaskan bangsa ini dari pornografi, free-sek, dan sejenisnya, butuh komitmen dan dukungan yang seimbang dari semua agama yang ada di Indonesia.
Memang ada hal-hal yang mereka usulkan untuk tidak dikategorikan porno,seperti tradisi, seni dan budaya bebe-rapa suku bangsa kita.Okelah untuk hal itu. Tapi secara umum apa yang saat ini melanda bangsa Indonesia, sesungguhnya sudah makin jauh dari ‘Indo-nesia yang sebenarnya’ sehingga dari pandangan aspek ini saja tidak ada alasan menolak UUPP.

Pendidikan Moral di Sekolah
Guru menjadi bagian yang berkepentingan dalam hal hadirnya UU PP. Saya yakin sebagian besar guru prihatin melihat kondisi bangsa saat ini. Ketika pornografi dan pornoaksi, mulai dari acara televisi, pergaulan di kota hingga hajatan dan hiburan bahkan pergaulan di desa, guru menangis. Di sekolah mereka mengajarkan agar anak-anaknya berbudi pekerti yang luhur, menjaga sopan santun, memelihara kehormatan diri mentaati ajaran agama, namun di kehidupan serbuan hal-hal yang bertolak belakang dari pendidikan itu kian besar.
Secara pribadi saya pun prihatin dan tak habis pikir. Dari segi pakaian seragam saja banyak siswa SMA/SMK yang tampil mengobral aurat dan anggota tubuh yang mestinya dilindungi. Banyak siswa yang berjilbab, namun bajunya hanya sebatas pusar sehingga ketika bergerak meliukan badannya ke kiri atau kanan nampaklah perut dan pusarnya yang mengundang nafsu lelaki. Apalagi ketika jongkok dan duduk pinggang bahkan pantatnya terbuka dan seolah berkata, “Hai saya di sini, lihatlah!”  Kalau tidak begitu, baju seragamnya dibuat ketat sehingga menonjolkan payudara dan pinggang yang ngabiola. Atau ber-rok yang belahannya hingga ke paha. Atau membuka beberapa kancing atas baju.
Saya tak habis pikir, apakah para guru termasuk guru agama di sekolah itu tidak melihatnya? Atau sudah tidak mampu menegurnya, meluruskan kekeliruhan cara berpakai siswanya? Atau ikut menikmati ‘tontonan gratis itu?” Atau sekolah sudah cuek sama sekali?
Di sekolah banyak pelajaran yang mengajarkan siswa mampu berbudi pekerti dan menjaga kehormatan diri. Ada PPKN, ada pelajaran Agama. Tidakah mereka paham dengan pelajaran itu? Padahal katanya dulu jaman angkatan babeh gue,  siswa yang ber-rok ketat oleh gurunya langsung ditegur, digunting bahkan ditampar dan esoknya langsung diganti dengan pakaian yang sopan.

Pendidikan ‘Jagalah Auratmu’
Sering sekali Aa Gym mengingatkan agar para artis menjaga bangsa ini dari kehancuran moral akibat tayangan pornografi dan pornoaksi yang mereka perankan. Aa Gym intinya meminta para artis menjadikan profesinya sebagai ladang amal dan pahala bukan menjadi ladang dosa dan petaka.
Saya melihat beberapa artis yang dipandang cukup bagus agamanya diundang dalam acara pengajian yang digelar Aa gym. Mereka mampu tampil sopan bahkan menutup aurat dan tak kalah cantik dengan anak Kyai. Aa selalu mengatakan jagalah auratmu, namun tak lama kemudian banyak artis yang sempat sepanggung di pangajian dengan Aa Gym, tampil memamerkan auratnya, dada dan bujalnya kembali diobral ke publik, padahal mereka bilang saya suka solat dan puasa. Maka tidak aneh ada acara panggung lebaran, tapi artisnya berpakaian ketat, bergoyang, ngebor bahkan sambil bertakbir memperlihatkan payudaranya ke penonton. Subhanalloh!
Lalu para artis yang tampil seronok dan mendapat reaksi keras masyarakat Islam membela diri bahwa apa yang dilakukannya murni seni bukan pornografi. Seni dipandang universal dan hak setiap manusia mengekspresikannya. Sekalipun berlawanan dengan ajaran agama terlebih Islam, mereka meminta dianggap biasa. Parahnya lagi ada muslim yang paham tentang Islam membela  keseronokan dan kepornoan sebagai seni yang harus dilindungi bukan dilawan atau ditiadakan.
Saya tidak mengerti bila ada seorang yang sejak kecil belajar Islam, lalu ketika ada pornogarfi dan pornoaksi mengatakan itu tidak boleh dilarang. Ketika aurat wanita dan pria diperlihatkan ke publik, itu tidak bertentangan dengan agama sebab itu murni seni. Padahal Islam juga memperbolehkan kesenian, namun tidak bertentangan dengan ajaran agama.
Stop dulu kita pusing dan tak habis pikir tentang warga negara Indonesia yang tampil lupa agama dan bangsanya. Sebaiknya kita sejak dini menamankan pemahamana dan kesadaran pada anak-anak kita minimal mereka bisa menjalankan perintah agama Islam untuk menjaga aurat.Sebab banyaknya dalih dan alasan para artis membela diri dan sesamanya tampil porno, karena dangkalnya ilmu agama mereka. Mereka tidak paham arti menutup aurat apalagi menjalankannya.
Apapun yang diucapkan kyai, ajengan dan umat Islam tentang ajaran menutup aurat, takkan pernah nyambung dengan para artis dan pelaku pornografi sekalipun mereka mengaku Islam atau beragama jika agama hanya di KTP dan tulisan. Mereka lebis suka menjadi kelompok bangsa yang berbudaya luar dan tanpa ketaatan pada agamanya. Mereka lebih senang men-jadi warga dunia yang mengglobal, menginternasional daripada menjadi WNI yang beragama dan berkrepribadian ketimuran.
Sebaiknya kita jaga saja anak-anak, istri dan keluarga dari kehinaan. Biasakan anak berpakaian bersih, sopan dan menutup aurat.Tanamkan dan pahamkan terus makna menjaga aurat. Ketika anak mulai akil baligh, tanamkan rasa malu dan takut pada Tuhan dan sesamanya. Didik mereka untuk bisa menutup seluruh tubuhnya kecuali muka dan telapak tangan.Peringatkan mereka untuk tidak memperlihatkan payudara, perut, pusar, kemaluan, pinggang, pantat, paha bahkan betis kepada yang bukan mukhrimnya.
Orang tua juga harus memberi contoh cara menutup aurat. Dengan mampu menjaga aurat dan kehormatan diri, maka kebaikan, kemuliaan dan kebahagiaan Insya Allah tercapai. Dan kita akan bangga menjadi umat Islam yang berbangsa Indonesia. Bila tidak begitu sebaiknya kita ancang-ancang pindah dari negeri ini, sebab Islam No, Indonesia, No!**

Ditulis oleh : DR. Gumilar, MM

Avatar Dr. Gumilar, S.Pd.,MM

Artikel menarik Lainnya