
Dasar Kenaikan Gaji
Pada dasarnya, pemerintah menaikkan gaji Pegawai Negeri Sipil (PNS) berdasarkan dua hal, yaitu tingkat inflansi dan pasar. Yang disebut tingkat inflansi adalah kenaikan dalam tingkat harga secara umum atau tingkat harga rata-rata dari seluruh barang dan jasa. Di Indonesia, lembaga yang berwenang mengurusi masalah inflansi adalah Badan Pusat Statistik (BPS). Indikator ini digunakan pemerintah dan banyak perusahaan, karena dapat menjadi acuan bagi perkiraan kebutuhan hidup pegawai.
Kita lihat, berdasarkan penelitian yang dilakukan INDEF (Institute for Development of Economic and Finance) perkiraannya tidaklah jauh meleset, bahwa inflansi tahun 2004 mencapai 11.8%-14.2%, diantaranya akibat kenaikan harga BBM dan listrik serta kenaikan telepon. Namun secara agregat, pengeluaran rumah tangga naik antara 23-28 persen. Artinya, kebutuhan rumah tangga secara riil adalah dua kali dari kebutuhan dasar indicator inflansi.
Hal ini disebabkan, tingkat inflansi (perhitungannya dilakukan BPS) tidak mengukur kenaikan seluruh barang dan jasa, tetapi hanya mempertimbangkan 354 komoditas saja.Di samping itu Survey Biaya Hidup (SBH) tidak dilakukan setiap tahun sehingga penam-bahan komoditas akibat perkembangan kebutuhan masyarakat, tidak dapat terpantau dan diformulasikan dalam perhitungan tingkat inflansi.
Survey Biaya Hidup (SBH) terakhir dilakukan BPS (Badan Pusat Statistik) tahun 1996 sehingga komoditas-komoditas baru yang dikonsumsi masyarakat pada tahun setelahnya tidak ter-cover . Dengan kata lain, kenaikan gaji atas dasar tingkat inflansi belum “sepenuhnya” menggambarkan kebutuhan hidup masyarakat secara riil, apalagi kebutuhan pegawai.
Idealnya, apabila pemerintah akan menaikan gaji pegawai atas dasar tingkat inflansi, harus mempertimbangkan tingkat inflansi ke depan. Mengingat gaji yang diterima Pegawai Negeri Sipil akan digunakan setahun ke depan. Sebagai contoh, pemerintah akan menaikan gaji pegawai tahun 2005, maka tingkat inflansi yang dipertimbangkan adalah inflansi selama tahun 2004 dan proyeksi inflansi tahun 2005.
Di samping itu, kenaikan gaji seharus-nya berpedoman pada kebutuhan hidup Pegawai Negeri Sipil (PNS) secara riil dan bukan berdasarkan nilai kon-sumsi masyarakat Indonesia secara umum. Sebagai contoh, penggunaan telepon seluler (handphone) merupakan kebutuhan PNS (mungkin 60% PNS menggunakan alat komunikasi ini). Namun, ini tidak termasuk dalam perhitungan inflansi karena hanya sebagian kecil masyarakat Indonesia yang menggunakannya.
Indeks Konjungtur Tiap Daerah
Kelihatannya, kebijakan menaikan gaji merupakan masalah yang simple saja. Namun, pemerintah memiliki jumlah PNS yang relatif besar, masalahnya semakin kompleks. Caranya yang paling ideal adalah mengetahui nilai konsumsi PNS di tiap daerah. Biasanya “indeks konjungtur” digunakan sebagai pembanding gaji di suatu daerah dengan daerah lainnya (red: ingat Upah Minimum Regional/UMR).
Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap daerah memiliki tingkat biaya hidup yang berbeda-beda sehingga terjadi perbedaan gaji di setiap daerah, khususnya pegawai swasta. Permasalahannya sekarang, setiap pegawai akan merasa bahwa daerahnya memiliki biaya hidup yang paling tinggi. Faktor inilah yang membuat peraturan atau kebijakan mengenai kenaikan gaji selalu menga-kibatkan ketidakpuasan dan controversial. Dampaknya, produktivitas dan motivasi pegawai menurun.
Sebagai salah satu deskripsi, Penulis telah mengalami beberapa kali pindah tempat tugas kerja di beberapa daerah sebagai seorang guru Sekolah Dasar (SD),mulai dari daerah terpencil pedalaman hutan Sancang– Garut Selatan, sampai di daerah pertengahan/pusat perkotaan. Selama hidup menjadi guru SD di daerah terpencil yang terdiri satu orang guru (penulis) dan satu Kepala Sekolah mengajar sejumlah 120 orang siswa dapat dibayangkan betapa repotnya mengajar siswa sejumlah itu, apalagi apabila salah seorang tidak bisa hadir karena berhalangan.
Di pedalaman ternyata biaya hidup sehari-hari relatif cukup besar untuk memenuhi kebutuhan hidup minimal seperti lauk-pauk, alat mandi, dan lainnya. Hal ini disebabkan harga-harga kebutuhan pokok lebih mahal dua kali lipat dari harga pasaran, hal ini dapat dimak-lumi karena ke lokasi pasar relatif jauh memakan waktu kurang lebih 3 (tiga) jam dengan melalui perjalanan kaki me-lewati hutan, turun menyeberangi sungai, dan semak belukar. Dengan demikian praktis untuk menghemat susah dilakukan, bahkan gaji sebulan saat itu tahun 1997 golongan baru II/d gaji pokok hanya Rp 112.000, tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup selama dua minggu. Untuk memenuhi kebutuhan kekurangan biaya hidup diperoleh dengan cara bekerja serabutan setelah mengajar. Anehnya daerah seterpencil itu tidak digolongkan sekolah terpencil, bahkan guru pun tidak mendapatkan tunjangan mengajar di daerah terpencil atau perlakuan khusus lain. Dan saat sekarang pun daerah itu masih tetap saja terpencil dan tertinggal seperti tahun 1997 tidak ada perubahan yang berarti.
Lain lagi ketika penulis telah pindah tugas pada tahun 1999 di daerah perte-ngahan yang mendekati perkotaan, nilai konsumsi segala kebutuhan hidup dapat diperoleh, dan agak lumayan gaji dari mengajar cukup untuk tiga minggu, selebihnya untuk memenuhi kekurangan biaya hidup banyak peluang usaha yang bisa dilakukan setelah mengajar. Peluang untuk mengikuti pendidikan, dan peluang pengembangan karir di daerah per-tengahan/kota lebih terbuka luas di bandingkan ketika penulis di pedalaman.
Dari deskripsi pengalaman penulis di atas, bahwa untuk mengetahui nilai konsumsi PNS di setiap daerah, bukan pekerjaan yang mudah. Bahkan, mustahil dilakukan. Hal ini disebabkan jumlah komoditas yang dikonsumsi sangat beragam dan setiap daerah berbeda-beda. Ini memakan waktu dan proses yang amat panjang dan membawa kon-sekuensi terhadap pengeluaran biaya yang sangat besar.
Untuk menjembatani masalah ini, pe-merintah mengambil kebijakan kenaikan gaji PNS yang mendekati ideal dengan mempertimbangkan beberapa faktor. Pertama, menggunakan perhitungan BPS sebagai “patokan” kebutuhan hidup pegawai. Sebab hanya tingkat inflansi dan nilai konsumsi yang saat ini dapat digunakan sebagai indicator resmi. Kedua, menaikan gaji bukan hanya berdasarkan inflansi lampau, melainkan juga melakukan proyeksi kebutuhan hidup yang berdampak pada tunjangan lainnya (uang makan, kesehatan, dan sebagainya) agar lebih realistis dan sesuai dengan kebutuhan hidup pegawai.
Kinerja Pemerintah dan Sistem Penggajian
Menghasilkan sistem penggajian ideal, khususnya bagi pemerintah yang me-miliki pegawai yang memiliki jumlah relatif besar tersebar di seluruh penjuru tanah air, bukanlah hal yang mudah. Apalagi pemerintah juga mempertimbangkan kemampuan pemerintah atau pencadangan anggaran Sumber Daya Manusia (SDM), khususnya untuk gaji. Di sisi lain, naik gaji merupakan sesuatu yang wajar karena sesuai dengan tuntutan pasar dan kebutuhan hidup pegawai.
Penulis tidak lepas dari geleng-geleng kepala, karena betapa jauhnya taraf hidup di pedalaman Garut Selatan, Ciamis Selatan dibandingkan dengan daerah terpencil di negara tetangga Singapura dan Malayasia. Taraf hidup kesejah-teraan guru pada umumnya di Malaysia sudah baik, apalagi di Singapura sangat baik. Hal ini dibuktikan sendiri, ketika penulis mempunyai kesempatan ber-kunjung langsung ke Singapura dan Malaysia dalam rangka Aksi Riset Pelayanan Jasa (action research service quality) di Negara tersebut.
Kita patut memberikan acungan jempol pada mereka, karena diantaranya kinerja pemerintahan, system pengembangan (human resources development), dan sistem penggajiannya (reward system) di Singapura dan Malaysia relatif lebih baik. Kita patut meniru sistem penggajian seperti negara tersebut.
Hal yang perlu ditekankan di Indonesia adalah hubungan antara sistem penggajian dan kinerja pemerintah. Gaji dan benefit yang kompetitif merupakan salah satu faktor yang memotivasi PNS untuk meningkatkan kualitasnya. Pada akhirnya kinerja pemerintah terus me-ningkat. Kinerja pemerintah yang baik, tentunya memiliki kemampuan pembayaran gaji yang baik pula sehingga ber-dampak pada kesejahteraan pegawai. Pada akhirnya, ikut memotivasi pegawai untuk bekerja lebih baik. Demikian seterusnya. Jadi, Gaji naik ? Siapa yang nggak mau !!
Kelihatannya, kebijakan menaikan gaji merupakan masalah yang simple saja. Namun, pemerintah memiliki jumlah PNS yang relatif besar, masalahnya semakin kompleks. Caranya yang paling ideal adalah mengetahui nilai konsumsi PNS di tiap daerah. Biasanya “indeks konjungtur” digunakan sebagai pembanding gaji di suatu daerah dengan daerah lainnya (red: ingat Upah Minimum Regional/UMR).
Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap daerah memiliki tingkat biaya hidup yang berbeda-beda sehingga terjadi perbedaan gaji di setiap daerah, khususnya pegawai swasta. Permasalahannya sekarang, setiap pegawai akan merasa bahwa daerahnya memiliki biaya hidup yang paling tinggi. Faktor inilah yang membuat peraturan atau kebijakan mengenai kenaikan gaji selalu menga-kibatkan ketidakpuasan dan controversial. Dampaknya, produktivitas dan motivasi pegawai menurun.
Sebagai salah satu deskripsi, Penulis telah mengalami beberapa kali pindah tempat tugas kerja di beberapa daerah sebagai seorang guru Sekolah Dasar (SD),mulai dari daerah terpencil pedalaman hutan Sancang– Garut Selatan, sampai di daerah pertengahan/pusat perkotaan. Selama hidup menjadi guru SD di daerah terpencil yang terdiri satu orang guru (penulis) dan satu Kepala Sekolah mengajar sejumlah 120 orang siswa dapat dibayangkan betapa repotnya mengajar siswa sejumlah itu, apalagi apabila salah seorang tidak bisa hadir karena berhalangan.
Di pedalaman ternyata biaya hidup sehari-hari relatif cukup besar untuk memenuhi kebutuhan hidup minimal seperti lauk-pauk, alat mandi, dan lainnya. Hal ini disebabkan harga-harga kebutuhan pokok lebih mahal dua kali lipat dari harga pasaran, hal ini dapat dimak-lumi karena ke lokasi pasar relatif jauh memakan waktu kurang lebih 3 (tiga) jam dengan melalui perjalanan kaki me-lewati hutan, turun menyeberangi sungai, dan semak belukar. Dengan demikian praktis untuk menghemat susah dilakukan, bahkan gaji sebulan saat itu tahun 1997 golongan baru II/d gaji pokok hanya Rp 112.000, tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup selama dua minggu. Untuk memenuhi kebutuhan kekurangan biaya hidup diperoleh dengan cara bekerja serabutan setelah mengajar. Anehnya daerah seterpencil itu tidak digolongkan sekolah terpencil, bahkan guru pun tidak mendapatkan tunjangan mengajar di daerah terpencil atau perlakuan khusus lain. Dan saat sekarang pun daerah itu masih tetap saja terpencil dan tertinggal seperti tahun 1997 tidak ada perubahan yang berarti.
Lain lagi ketika penulis telah pindah tugas pada tahun 1999 di daerah perte-ngahan yang mendekati perkotaan, nilai konsumsi segala kebutuhan hidup dapat diperoleh, dan agak lumayan gaji dari mengajar cukup untuk tiga minggu, selebihnya untuk memenuhi kekurangan biaya hidup banyak peluang usaha yang bisa dilakukan setelah mengajar. Peluang untuk mengikuti pendidikan, dan peluang pengembangan karir di daerah per-tengahan/kota lebih terbuka luas di bandingkan ketika penulis di pedalaman.
Dari deskripsi pengalaman penulis di atas, bahwa untuk mengetahui nilai konsumsi PNS di setiap daerah, bukan pekerjaan yang mudah. Bahkan, mustahil dilakukan. Hal ini disebabkan jumlah komoditas yang dikonsumsi sangat beragam dan setiap daerah berbeda-beda. Ini memakan waktu dan proses yang amat panjang dan membawa kon-sekuensi terhadap pengeluaran biaya yang sangat besar.
Untuk menjembatani masalah ini, pe-merintah mengambil kebijakan kenaikan gaji PNS yang mendekati ideal dengan mempertimbangkan beberapa faktor. Pertama, menggunakan perhitungan BPS sebagai “patokan” kebutuhan hidup pegawai. Sebab hanya tingkat inflansi dan nilai konsumsi yang saat ini dapat digunakan sebagai indicator resmi. Kedua, menaikan gaji bukan hanya berdasarkan inflansi lampau, melainkan juga melakukan proyeksi kebutuhan hidup yang berdampak pada tunjangan lainnya (uang makan, kesehatan, dan sebagainya) agar lebih realistis dan sesuai dengan kebutuhan hidup pegawai.
Kinerja Pemerintah dan Sistem Penggajian
Menghasilkan sistem penggajian ideal, khususnya bagi pemerintah yang me-miliki pegawai yang memiliki jumlah relatif besar tersebar di seluruh penjuru tanah air, bukanlah hal yang mudah. Apalagi pemerintah juga mempertimbangkan kemampuan pemerintah atau pencadangan anggaran Sumber Daya Manusia (SDM), khususnya untuk gaji. Di sisi lain, naik gaji merupakan sesuatu yang wajar karena sesuai dengan tuntutan pasar dan kebutuhan hidup pegawai.
Penulis tidak lepas dari geleng-geleng kepala, karena betapa jauhnya taraf hidup di pedalaman Garut Selatan, Ciamis Selatan dibandingkan dengan daerah terpencil di negara tetangga Singapura dan Malayasia. Taraf hidup kesejah-teraan guru pada umumnya di Malaysia sudah baik, apalagi di Singapura sangat baik. Hal ini dibuktikan sendiri, ketika penulis mempunyai kesempatan ber-kunjung langsung ke Singapura dan Malaysia dalam rangka Aksi Riset Pelayanan Jasa (action research service quality) di Negara tersebut.
Kita patut memberikan acungan jempol pada mereka, karena diantaranya kinerja pemerintahan, system pengembangan (human resources development), dan sistem penggajiannya (reward system) di Singapura dan Malaysia relatif lebih baik. Kita patut meniru sistem penggajian seperti negara tersebut.
Hal yang perlu ditekankan di Indonesia adalah hubungan antara sistem penggajian dan kinerja pemerintah. Gaji dan benefit yang kompetitif merupakan salah satu faktor yang memotivasi PNS untuk meningkatkan kualitasnya. Pada akhirnya kinerja pemerintah terus me-ningkat. Kinerja pemerintah yang baik, tentunya memiliki kemampuan pembayaran gaji yang baik pula sehingga ber-dampak pada kesejahteraan pegawai. Pada akhirnya, ikut memotivasi pegawai untuk bekerja lebih baik. Demikian seterusnya. Jadi, Gaji naik ? Siapa yang nggak mau !!