KELUARGA KORUPTOR || Retno Triani Soekonjono || Psikolog
Merdeka ! 🇮🇩🇮🇩🇮🇩🇮🇩🇮🇩
(CIAMIS, 28/04/2022). Mari kita mengingat kejadian yang sudah berlalu tentang beberapa orang telah berbuat kejahatan sbb.:
• Bupati Bogor Ade Yasin terjaring operasi tangkap tangan (OTT) KPK.
Hj. Ade Munawaroh Yasin, S.H., M.H. adalah seorang politikus Indonesia yang menjabat sebagai Bupati Bogor sejak 30 Desember 2018.
Ade merupakan adik kandung dari mantan Bupati Bogor sebelumnya, yaitu Rachmat Yasin yang lebih dulu telah menjadi ‘pasien’ KPK. Bukan hanya satu perkara, tapi dua sekaligus.
Kakak adik Bupati Bogor nampaknya berbakat melakukan perilaku kriminal.
• Wali Kota Kendari dan Ayahnya terima suap dari sejumlah proyek (2018).
Wali Kota Kendari Adriatma dan Asrun yang juga bekas Wali Kota kendari terbukti menerima suap Rp 6,8 miliar dari Direktur PT Sarana Bangun Nusantara, Hasmun Hamzah. Suap tersebut berkaitan dengan sejumlah proyek di Kota Kendari.
• Alex Noerdin dan Dodi Reza, Bapak dan Anak juga terjerat Kasus Korupsi (2022).
Bupati Musi Banyuasin Dodi Reza Alex Noerdin ditangkap KPK karena korupsi pengadaan barang dan jasa infrastruktur. Dodi merupakan anak Alex Noerdin, yang merupakan mantan Gubernur Sumatera Selatan.
Alex Noerdin, ditetapkan sebagai tersangka di dua kasus korupsi yang berbeda. Dua kasus tersebut adalah kasus gas bumi dan dana hibah Masjid Sriwijaya, Palembang.
• Bupati Kutei Kartanegara Rita Widyasari ikuti jejak ayahnya menjadi koruptor (2018).
Ayah Rita, Syaukani, pernah menjadi pesakitan KPK. Dugaan kasus korupsi Syaukani ditangani KPK pada 2006-2007 silam. Syaukani akhirnya mendapatkan vonis dua tahun penjara pada 14 Desember 2007 karena dinilai hakim terbukti terlibat korupsi selama 2001-2005 dan merugikan negara Rp113 miliar.
Menurut catatan, korupsi yang dilakukan oleh anggota keluarga sedarah, relatif banyak baik di dunia maupun di Indonesia.
Pertanyaannya apakah perilaku kriminal juga berkorelasi dengan faktor internal individu dalam hal ini faktor genetik atau keturunan?
Bukti menunjukkan bahwa kriminalitas dapat dikaitkan dengan faktor lingkungan, tetapi temuan dari studi keluarga, studi saudara kembar, dan studi adopsi menunjukkan bahwa faktor keturunan juga terlibat dalam kriminalitas.
• Penjelasan Genetik
Penjelasan genetik kejahatan mengindikasikan bahwa faktor genetik dapat mempengaruhi individu untuk melakukan kejahatan karena kode gen untuk faktor fisiologis seperti struktur dan fungsi sistem saraf dan neurokimia.
Seperti dalam teori biologi awal kejahatan, kriminolog telah menggunakan keluarga, adopsi, dan studi saudara kembar dalam memperkirakan sejauh mana sifat-sifat tertentu diwariskan (Plomin, 2004). Dalam studi ini, jika perilaku individu lebih mirip dengan kerabat biologisnya daripada yang diadopsi, maka ini menunjukkan bahwa suatu sifat lebih dipengaruhi secara genetik daripada lingkungan.
Rhee dan Waldman (2002) melakukan tinjauan studi saudara kembar dan adopsi dan menemukan bahwa ada pengaruh genetik dan lingkungan yang substansial pada perilaku antisosial.
Secara khusus, para peneliti menemukan bahwa sekitar 32% variasi dalam perilaku antisosial disebabkan oleh efek genetik aditif, yaitu gen gen yang mempengaruhi ekspresi sifat.
9% karena efek genetik nonaditif.
Rhee dan Waldman, Moffitt (2005) melakukan tinjauan yang menyimpulkan bahwa sekitar 50% variasi populasi dalam perilaku antisosial disebabkan oleh pengaruh genetik.
• Interaksi Gen-Lingkungan
Mereka yang memiliki gen yang berbeda cenderung bertindak secara berbeda di lingkungan yang sama. Mereka yang memiliki kecenderungan genetik terhadap kriminalitas lebih mungkin untuk terlibat dalam perilaku kriminal jika mereka dihadapkan pada lingkungan yang kondusif untuk kriminalitas.
Sebaliknya, mereka yang tidak memiliki disposisi kriminal tidak mungkin terlibat dalam perilaku kriminal, bahkan ketika mereka berada di lingkungan kriminogen.
Ilmuwan seperti Caspi et al. (2002) telah menemukan bukti bagaimana gen kriminologis sendiri berinteraksi dengan lingkungan.
Dengan telah ditemukannya bukti bahwa faktor genetik memiliki korelasi dengan perilaku krimininal,
alangkah baiknya bila dalam memilih calon Kepala Daerah diberlakukan juga persyaratan “bibit, bebet, bobot” sebagaimana layaknya ketika sesesorang akan memilih pasangan hidup.
BIBIT bermakna latar belakang keturunan calon pasangan dalam hal ini orang tua atau keluarga.
BEBET berkaitan dengan tingkat ekonomi calon pasangan. Sedangkan BOBOT, adalah kualitas diri dari calon pasangan yang lebih condong pada segi kepribadian, pendidikan, ataupun pencapaian lainnya.
Dengan persyaratan tersebut diatas Ketua Umum Partai Politik Pendukung dapat menyaring calon-calon Kepala Daerah yang berkualitas, sehingga rakyat dalam memilih Kepala Daerah tidak tertipu seperti layaknya membeli kucing dalam karung.
Individu yang memiliki Gen Kriminal tidak akan lolos menjadi kandidat Kepala Daerah atau dengan kata lain Keluarga Koruptor terutama Keluarga Inti tidak akan mendapat kesempatan untuk menjadi Kepala Daerah, sebelum Individu mampu menunjukkan kualitas diri yang prima.
“Korupsi lebih buruk dari prostitusi. Yang terakhir mungkin membahayakan moral seseorang, yang pertama selalu membahayakan moral seluruh negara” Karl Kraus.***