MINTA MAAF || Retno Triani Soekonjono ||
Psikolog

Merdeka ! 🇮🇩🇮🇩🇮🇩🇮🇩🇮🇩
(CIAMIS, 03/04/2022). “Selamat Hari Raya Idulfitri, mohon maaf lahir dan bathin”.
Itulah kalimat yang selalu diucapkan ketika memberi selamat pada kaum muslimin pada Hari Raya Idulfitri.
Seolah-olah suatu keharusan bahwa pada hari itu kita mohon maaf atas kesalahan-kesalahan kita, untuk memulai suatu babak kehidupan baru.
Kata “maaf” adalah salah satu kata pertama yang diperkenalkan orang tua pada anaknya yang masih kecil untuk mengakui kesalahan yang telah dilakukannya. Manusia tidak pernah luput dari kesalahan baik yang disengaja ataupun yang tidak disengaja,
oleh karena itu sudah selayaknya manusia minta maaf setelah membuat kesalahan yang disadari.
Namun ada beberapa orang yang sulit minta maaf, walaupun dia dengan sadar melakukan kesalahan verbal dengan kata-kata cacian yang kasar maupun non verbal dengan perbuatan yang merugikan, menghina dan menyakitkan orang lain.
Individu yang sulit meminta maaf, disebut individu non-apologis biasanya memiliki alasan untuk menghindari tanggung jawab mereka untuk menghilangkan ketidak nyamanan, perasaan terluka atau tekanan emosional yang telah mereka lakukan pada orang lain.
Bagi non-apologis, mengatakan “Saya minta maaf” membawa konsekuensi psikologis yang jauh lebih dalam daripada yang tersirat dari kata-kata itu sendiri, antara lain :
1. Merusak identitas dan harga diri.
Individu non-apologis adalah individu yang egois, tidak pernah merasa bersalah karena jika ia mengakui kesalahannya ia akan dianggap sebagai orang yang bodoh. Hanya orang yang bodoh yang membuat kesalahan dan lalai.
2. Menimbulkan rasa malu.
Rasa malu merupakan beban psikologis yang sangat berat bagi non-apologis yang memiliki kepribadian arogan.
3. Menimbulkan konflik.
Dengan meminta maaf, non-apologis takut dipersalahkan atas kesalahan-kesalahan masa lalu yang juga tidak pernah diakuinya.
4. Memikul tanggung jawab.
Dengan meminta maaf, berarti ia mengakui kesalahan. Oleh karena itu ia harus bertanggung jawab atas kerugian yang timbul atau membebaskan orang lain yang selama ini dianggap bersalah.
Hal tersebut tidak dikehendaki oleh non-apologis.
Individu non-apologis seringkali juga Individu Narsistis yang kurang mampu berempati, dan memiliki kecerdasan emosional rendah walaupun
seringkali tampak menawan, percaya diri, dan bahkan penuh perhatian.
Semakin cerdas individu secara sosial dan emosional, semakin besar kemungkinan ia tidak hanya mau meminta maaf tetapi juga mampu melakukannya seefektif mungkin, sesuai dengan tujuannya.
Seseorang yang kompeten secara emosional dan dewasa mendekati situasi dengan ketulusan, keterbukaan, dan keinginan untuk menebus kesalahan dengan permintaan maaf.
“Jangan pernah merusak permintaan maaf dengan alasan”. Benyamin Franklin.***